*) Menjaga Hubungan Baik
Dalam Bermasyarakat
---“Wahai orang-orang yang beriman.
Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwa kepada Allah.
Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Wahai orang-orang yang beriman
janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah kamu
berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya (suara) sebagian
kamu terhadap yang lainnya, nanti (pahala) segala amalmu bias terhapus,
sedangkan kamu tidak menyadarinya; sesungguhnya orang-orang yang merendahkan
suaranya di sisi Rosulullah, mereka itulah orang-orang yang telah di uji
hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala
yang besar.” (QS. Al Hujurat 1-3)---
Surat
Al Hujurat berisi peraturan-peraturan dan syariah Islam untuk menjalin hubungan
antara seorang pemimpin Nabi dan Rasul Allah dengan masyarakat Muslim. Allah
SWT memerintahkan jangan memutuskan suatu perkara sebelum ada ketentuan hokum
dari Allah melalui Rasul-Nya (Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya)
Al
Qur’an dan Rasul-Nya adalah hokum asasi, yang harus berada di atas segala
peraturan dan falsafah hasil olah otak manusia, karena hakikat dan syariatnya yang
terkandung dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya, sudah disempurnakan Allah SWT
pada Haji Wada’ sekaligus dengan nikmat yang akan diperoleh, apabila hukum-hukum
itu dilaksanakan oleh seluruh ummat manusia di muka bumi ini.
Segala
peraturan dan falsafah serta idiologi hasil olah otak manusia akan berubah,
tetapi hukum Allah yang termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya akan
berlaku sepanjang masa dan jaman, yang selaras, serasi dan sesuai dengan fitrah
manusia yang cenderung kepada kebenaran. Oleh karena itulah jadikanlah hukum-hukum
Allah untuk merubah segala perilaku manusia di muka bumi, agar kita dapat hidup
damai, sejahtera lahir dan bathin.
Sudah
menjadi bukti nyata, beberapa abad silam kehidupan manusia dalam keadaan carut
marut, bangsa Arab menmyembah patung Latta dan Ujja, bangsa lainnya
menyalhgunakan ajaran para Nabi-Nya memandang Nabi Uzair As sebagai sembahan
bangsa Yahudi, dan Nabi Isa AS sebagai sembahan kaum Nasrani. Allah SWT mengubah
sikap dan perilaku menserikatkan Allah dengan Meng Esa-kan Allah SWT, sehingga
di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, kaum Quraisy (bangsa Arab) yang
jahiliyah, dalam tempo yang singkat kembali kepada agama tauhid dan
mengembalikan hukum dan pergaulan hidupnya berdasarkan syari’at Islam.
Allah
SWT memberikan ketentuan terhadap tata pergaulan sesama muslim dan terhadap
pemimpinnya, janganlah mengeraskan suara, melebihi suara Nabi SAW, begitu juga
dalam percakapan, karena cara demikian bisa jadi mengandung cemoohan dan
penghinaan yang akibatnya akan menyeret kepada kekafiran yang akan memusnahkan
pahala amal kebajikan mereka sendiri, tanpa mereka sadari perbuatannya.
Dalam
menetapkan suatu pendapat, Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu
Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah, “ Rasulullah SAW menmgutus Mu’adz bin Jabal ke
negeri Yaman, Rasulullah SAW bertanya,” Kamu akan memberi putusan dengan apa?
Jawab Mu’adz, “ dengan Kitab Allah (Al Qur’an).” Nabi bertanya lagi, “ Jika
kamu tidak menjumpai dalam kitab Allah, bagaimana?” dengan Sunnah Rasulullah, “
Nabi SAW bertanya lagi, ‘ jika dalam Sunnah-Ku tidak engkau dapati? Mu’adz
menjawab, “ aku akan ijtihad dengan fikiranku, “ lalu nabi menepuk dada Mu’adz
seraya berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan
Rasul-Nya tentang apa-apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.”
Firman
Allah SWT dalam surat Al Hujurat ayat 4 - 5 :
“Sesungguhnya orang-orang yang
memanggil kamu (Muhammad) dari luar kamar (mu), kebanyakan mereka mengerti; Dan
kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu (Muhammad) keluar menemui mereka,
sesungguhnya itu adalah lebih baik lagi bagi mereka dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Ibnu
Ishaq menerangkan dalam kitab terakhirnya bahwa tahun kesembilan Hijrah adalah
merupakan tahun mengalirnya para delegasi dari seluruh Jaziratul Arabi setelah
futuh (bebas/merdeka) nya kota Makkah dan setelah perang Tabuk serta setelah
Kabilah Tsabiq dari Thaif masuk Islam. Maka berduyun-duyunlah dari berbagai
penjuru Jaziratul Arab untuk menemui Rasulullah SAW, termasuk Kabilah Banu
Tamim. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, menyikapi perilaku Banu
Tamin dan penerimaan sahabat Nabi terhadap mereka yang berkunjung kepada Nabi
Muhammad SAW yang tengah berada di salah satu kamar isteri beliau, sehingga
surat ini di namai Al Hujurat (kamar-kamar) mulai ayat 2-5.
Diriwayatkan
Ibnu Jarir dari Jaiz bin Arqam bahwa sekumpulan orang-orang Badwi (Banu Tamim)
dan kawan-kawannya berkata, “mari kita temui Muhammad, apabila ia seorang Nabi,
maka kitalah yang akan bahagia, dan jika ia seorang raja, maka kitapun akan
beruntung, dapat hidup disampingnya. Mendengar berita itu Zain bin Arqam
mendatangi Rasulullah SAW memberitakan akan kedatangan mereka (Banu Tamin).
Secara
kebetulan pada saat itu Abu Bakar Siddiq dan Umar Ibn Khattab berada di Masjid
Madinah. Banu Tamim di terima oleh kedua sahabat tadi. Mereka (Banu Tamim)
memanggil-manggil Nabi SAW dengan suara lantang dan keras. Abu Bakar ra berkata,
“rombongan ini hendaknya dipimpin oleh Qo’qo bin Ma’bad.” Umar ra menimpalnya,
“ seyogyianya rombongan ini dipimpin oleh Al Aqro’ ibnu Haabis, “ Abu Bakar ra
menyela sikap Umar ra,”Anda tidak bermaksud lain kecuali menentangku. “ Jawab
Umar ra, “ saya tidak bermaksud menentang anda.” Akhirnya ternyata akibat
silang pendapat itu menjadi tambah gemuruh. Maka turunlah ayat ini.
Sejak
turunnya ayat 2-5 Al Hujurat yang berkaitan dengan tatakrama penerimaan tamu
Negara, yang kini disebut protokoler dan pengamanan terbuka dan tertutup,
diberlakukan dalam hukum Islam. Abu Bakar ra sebagai protokolernya dan Umar ra
sebagai pengamanannya. Sejak saat itu baik Abu Bakar ra dan Umar ra, serta
sahabat lainnya tidak pernah berani di hadapan Rasulullah mengeluarkan
kata-kata lantang dan keras, sampai-sampai suaranya tidak pernah kedengaran
saking ljrihnya kepada Rasulullah SAW.
Dalam
Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu Abi Mulaikah ra, menerangkan seorang
sahabat nabi SAW bernama Tsabit bin Qais tidak pernah menghadiri Majlis
Rasulullah SAW, dan ketika ditanya oleh Nabi SAW, dia mengatakan, “saya ini
orang yang keras berbicara, saya merasa khawatir, kebiasaan saya ini akan
menghapus amal saya.” Nabi menjawab, “ wahai Tsabit, engkau lain, engkau hidup
dalam kebaikan dan Insya Allah akan mati dalam kebaikan, engkau akan masuk ahli
surga. “ Tsabit merasa senang dan gembira dan sejak saat itu Trabit tidak
pernah mengeluarkan suara keras di hadapan Rasulullah SAW.
Sesungguhnya
orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah dan berupaya
melatih diri membiasakan santun dalam berbicara, mereka itulah orang yang diuji
hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Oleh karena itulah agama Islam mengajarkan
tuntunan kepada kaum muslimin dan muslimat untuk santun dalam berkata dan
berbicara, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit hati bagi teman bergaul dan
berhubungan baik dalam bersiasat (politik), bersosial dan bermasyarakat serta
bernegara, sehingga tidak terjadi seperti sekarang ini, seolah kebenaran sudah
hilang, padahal kita tidak mau mematuhi apa yang difirmankan Allah dalam Al
Qur’an dan contoh tauladan.
Mari
kita baca Al Qur’an dengan penuh arti dan makna, terutama surat Al Hujurat ini,
dalam membina tatanan hidup dan kehidupan yang baik dan benar. Insya Allah akan
kita peroleh kebaikan, baik di dunia maupun kelak di akhirat, karena kita
berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Semoga Allah SWT melimpahkan
hidayah, Inayah serta maghfiroh-Nya. Aamiin Ya Robbal ‘Aalamiin. (Diolah dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar