Sabtu, 11 April 2015

Merendahkan Suara Hindari Konflik dan Kebencian



*) Menjaga Hubungan Baik Dalam Bermasyarakat


---“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwa kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lainnya, nanti (pahala) segala amalmu bias terhapus, sedangkan kamu tidak menyadarinya; sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rosulullah, mereka itulah orang-orang yang telah di uji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Hujurat 1-3)---

Surat Al Hujurat berisi peraturan-peraturan dan syariah Islam untuk menjalin hubungan antara seorang pemimpin Nabi dan Rasul Allah dengan masyarakat Muslim. Allah SWT memerintahkan jangan memutuskan suatu perkara sebelum ada ketentuan hokum dari Allah melalui Rasul-Nya (Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya)

Al Qur’an dan Rasul-Nya adalah hokum asasi, yang harus berada di atas segala peraturan dan falsafah hasil olah otak manusia, karena hakikat dan syariatnya yang terkandung dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya, sudah disempurnakan Allah SWT pada Haji Wada’ sekaligus dengan nikmat yang akan diperoleh, apabila hukum-hukum itu dilaksanakan oleh seluruh ummat manusia di muka bumi ini.

Segala peraturan dan falsafah serta idiologi hasil olah otak manusia akan berubah, tetapi hukum Allah yang termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya akan berlaku sepanjang masa dan jaman, yang selaras, serasi dan sesuai dengan fitrah manusia yang cenderung kepada kebenaran. Oleh karena itulah jadikanlah hukum-hukum Allah untuk merubah segala perilaku manusia di muka bumi, agar kita dapat hidup damai, sejahtera lahir dan bathin.

Sudah menjadi bukti nyata, beberapa abad silam kehidupan manusia dalam keadaan carut marut, bangsa Arab menmyembah patung Latta dan Ujja, bangsa lainnya menyalhgunakan ajaran para Nabi-Nya memandang Nabi Uzair As sebagai sembahan bangsa Yahudi, dan Nabi Isa AS sebagai sembahan kaum Nasrani. Allah SWT mengubah sikap dan perilaku menserikatkan Allah dengan Meng Esa-kan Allah SWT, sehingga di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, kaum Quraisy (bangsa Arab) yang jahiliyah, dalam tempo yang singkat kembali kepada agama tauhid dan mengembalikan hukum dan pergaulan hidupnya berdasarkan syari’at Islam.

Allah SWT memberikan ketentuan terhadap tata pergaulan sesama muslim dan terhadap pemimpinnya, janganlah mengeraskan suara, melebihi suara Nabi SAW, begitu juga dalam percakapan, karena cara demikian bisa jadi mengandung cemoohan dan penghinaan yang akibatnya akan menyeret kepada kekafiran yang akan memusnahkan pahala amal kebajikan mereka sendiri, tanpa mereka sadari perbuatannya.
Dalam menetapkan suatu pendapat, Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah, “ Rasulullah SAW menmgutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman, Rasulullah SAW bertanya,” Kamu akan memberi putusan dengan apa? Jawab Mu’adz, “ dengan Kitab Allah (Al Qur’an).” Nabi bertanya lagi, “ Jika kamu tidak menjumpai dalam kitab Allah, bagaimana?” dengan Sunnah Rasulullah, “ Nabi SAW bertanya lagi, ‘ jika dalam Sunnah-Ku tidak engkau dapati? Mu’adz menjawab, “ aku akan ijtihad dengan fikiranku, “ lalu nabi menepuk dada Mu’adz seraya berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasul-Nya tentang apa-apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.”

Firman Allah SWT dalam surat Al Hujurat ayat 4 - 5 :
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu (Muhammad) dari luar kamar (mu), kebanyakan mereka mengerti; Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu (Muhammad) keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik lagi bagi mereka dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ibnu Ishaq menerangkan dalam kitab terakhirnya bahwa tahun kesembilan Hijrah adalah merupakan tahun mengalirnya para delegasi dari seluruh Jaziratul Arabi setelah futuh (bebas/merdeka) nya kota Makkah dan setelah perang Tabuk serta setelah Kabilah Tsabiq dari Thaif masuk Islam. Maka berduyun-duyunlah dari berbagai penjuru Jaziratul Arab untuk menemui Rasulullah SAW, termasuk Kabilah Banu Tamim. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, menyikapi perilaku Banu Tamin dan penerimaan sahabat Nabi terhadap mereka yang berkunjung kepada Nabi Muhammad SAW yang tengah berada di salah satu kamar isteri beliau, sehingga surat ini di namai Al Hujurat (kamar-kamar) mulai ayat 2-5.

Diriwayatkan Ibnu Jarir dari Jaiz bin Arqam bahwa sekumpulan orang-orang Badwi (Banu Tamim) dan kawan-kawannya berkata, “mari kita temui Muhammad, apabila ia seorang Nabi, maka kitalah yang akan bahagia, dan jika ia seorang raja, maka kitapun akan beruntung, dapat hidup disampingnya. Mendengar berita itu Zain bin Arqam mendatangi Rasulullah SAW memberitakan akan kedatangan mereka (Banu Tamin).

Secara kebetulan pada saat itu Abu Bakar Siddiq dan Umar Ibn Khattab berada di Masjid Madinah. Banu Tamim di terima oleh kedua sahabat tadi. Mereka (Banu Tamim) memanggil-manggil Nabi SAW dengan suara lantang dan keras. Abu Bakar ra berkata, “rombongan ini hendaknya dipimpin oleh Qo’qo bin Ma’bad.” Umar ra menimpalnya, “ seyogyianya rombongan ini dipimpin oleh Al Aqro’ ibnu Haabis, “ Abu Bakar ra menyela sikap Umar ra,”Anda tidak bermaksud lain kecuali menentangku. “ Jawab Umar ra, “ saya tidak bermaksud menentang anda.” Akhirnya ternyata akibat silang pendapat itu menjadi tambah gemuruh. Maka turunlah ayat ini.

Sejak turunnya ayat 2-5 Al Hujurat yang berkaitan dengan tatakrama penerimaan tamu Negara, yang kini disebut protokoler dan pengamanan terbuka dan tertutup, diberlakukan dalam hukum Islam. Abu Bakar ra sebagai protokolernya dan Umar ra sebagai pengamanannya. Sejak saat itu baik Abu Bakar ra dan Umar ra, serta sahabat lainnya tidak pernah berani di hadapan Rasulullah mengeluarkan kata-kata lantang dan keras, sampai-sampai suaranya tidak pernah kedengaran saking ljrihnya kepada Rasulullah SAW.

Dalam Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu Abi Mulaikah ra, menerangkan seorang sahabat nabi SAW bernama Tsabit bin Qais tidak pernah menghadiri Majlis Rasulullah SAW, dan ketika ditanya oleh Nabi SAW, dia mengatakan, “saya ini orang yang keras berbicara, saya merasa khawatir, kebiasaan saya ini akan menghapus amal saya.” Nabi menjawab, “ wahai Tsabit, engkau lain, engkau hidup dalam kebaikan dan Insya Allah akan mati dalam kebaikan, engkau akan masuk ahli surga. “ Tsabit merasa senang dan gembira dan sejak saat itu Trabit tidak pernah mengeluarkan suara keras di hadapan Rasulullah SAW.

Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah dan berupaya melatih diri membiasakan santun dalam berbicara, mereka itulah orang yang diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Oleh karena itulah agama Islam mengajarkan tuntunan kepada kaum muslimin dan muslimat untuk santun dalam berkata dan berbicara, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit hati bagi teman bergaul dan berhubungan baik dalam bersiasat (politik), bersosial dan bermasyarakat serta bernegara, sehingga tidak terjadi seperti sekarang ini, seolah kebenaran sudah hilang, padahal kita tidak mau mematuhi apa yang difirmankan Allah dalam Al Qur’an dan contoh tauladan.

Mari kita baca Al Qur’an dengan penuh arti dan makna, terutama surat Al Hujurat ini, dalam membina tatanan hidup dan kehidupan yang baik dan benar. Insya Allah akan kita peroleh kebaikan, baik di dunia maupun kelak di akhirat, karena kita berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Semoga Allah SWT melimpahkan hidayah, Inayah serta maghfiroh-Nya. Aamiin Ya Robbal ‘Aalamiin. (Diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar