Rabu, 19 Agustus 2015

Pemimpin Memenuhi Kebutuhan Rakyat dan Mendengar Keluhannya

>>> Belajar dari Duo Kepemimpinan Umar

Suatu ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan di masa pemerintahan Umar bin Khaththab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Sang gubernur menerima makanan itu, makanan bernama habish yang terbuat dari minyak samin dan kurma. Saat mencicipinya, sang Gubernur menyunggingkan senyum seraya berkata “Subhanallah!, betapa enak makanan ini, tentulah kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khaththab  di Madinah, dia akan senang,” Kemudian, dikirimlah makanan itu ke khalifah Umar. Setelah sampai, Umar menananyakan nama makanan ini dan memastikan apakah makanan ini telah bisa dinikmati semua rakyat Azerbaijan. Saat utusan Gubernur berkata bahwa tidak semua rakyat Azerbaijan bisa memakannya, wajah khalifah Umar memerah seraya memerintahkan kedua utusan itu kembali ke negerinya, dan dia menulis ,”…Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu” .

Lain lagi cerita dari seorang Umar Bin Abdul Aziz, khalifah dari Bani Ummayah. Ketika beliau sedang berada di dalam ruang kerja dan datanglah anaknya untuk bicara dengannya. Umar lalu bertanya, pembicaraan tersebut untuk kepentingan negara atau keluarga. Si anak menjawab untuk keperluan keluarga. Lalu, Umar mematikan lampu yang menerangi ruangan tersebut karena minyak untuk menerangi ruangan itu dibiayai negara. Umar tidak mau pembicaraan untuk urusan keluarga diterangi oleh lampu yang dibiayai oleh negara. Subhanallah, sungguh sosok seorang pemimpin yang luar biasa.

Lantas, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari cerita dua Umar di atas? Jawabannya satu, amanah dengan kepemimpinannya. Menjalankan kepemimpinan sebaik mungkin dengan penuh tanggung jawab karena Allah SWT.

Krisis multidimensi yang masih menggelayuti bangsa Indonesia seakan mustahil untuk dicari jalan keluarnya dalam waktu dekat. Pragmatisme politik, gejala disintegrasi, korupsi, kemiskinan, praktek kekerasan dan bencana alam merupakan masalah besar seluruh komponen bangsa. Reformasi yang bergulir sejak 1998 dengan semangat anti KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) belum menghasilkan pemimpin besar yang berjiwa besar untuk menyembuhkan penyakit kronis yang mendera bangsa ini.

Jika bangsa ini ingin segera keluar dari berbagai krisis, maka dibutuhkan keteladanan para pemimpinnya. Keteladanan dimulai dari pemimpin tingkat keluarga, RT, RW, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat. Lemahnya kepemimpinan dari tingkat yang paling bawah hingga tingkat yang paling atas menjadi penghambat tumbuhnya kepribadian bangsa yang beradab.

Pemimpin harus berani berkata jujur walaupun sangat pahit. Jika pemimpin mau jujur maka rakyat pasti mau mengerti dengan keadaan pemimpinnya.

Adakah hal itu kita temukan di bangsa kita saat ini? Terutama di kalangan pejabat publik yang hari ini berbicara menjadi pemimpin dan mewakili kita? Tidak adalah jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Atau kita bisa menjawab ya, masih ada orang yang ingin menjadi seperti dua Umar di atas, tapi sedikit, bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami.

Pemimpin seperti dua Umar itu memiliki criteria yang amat memadai menjadi seorang pemimpin. Kriteria itu selayaknya ada pada orang-orang yang dengan terang-terangan ingin menjadi pemimpin. Di antara kriteria pemimpin yang baik adalah:

Niat Ikhlas. Seorang pemimpin dalam memegang jabatannya itu harus diniatkan semata-mata hanya untuk menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh yang dijanjikan Allah kepadanya, jika melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik. Karena setiap amal tergantung niat pelakunya, dan keberhasilan seorang pemimpin tergantung kepada niatnya dalam memegang kepemimpinan itu; apakah untuk memperkaya diri atau semata-mata lillahi Ta’ala.

Tidak Meminta Jabatan. Secara syar’i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu. Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk mempertahankan kedudukan yang telah ia raih.

Berhukum dengan Hukum Allah. Ini merupakan kewajiban terbesar yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin dan penguasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”. (QS. Al-Mâ`idah:49].

Menjatuhkan Hukum Secara Adil Diantara Manusia. Ini juga termasuk kewajiban terbesar yang harus diemban oleh seorang penguasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (QS. Shâd: 26).

Siap Memenuhi Kebutuhan Rakyat dan Mendengar Keluhannya. Seorang pemimpin harus membuka pintunya untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat, mendengarkan pengaduan orang-orang yang teraniaya dan keluhan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tidaklah seorang pemimpin atau seorang penguasa menutup pintunya dari orang-orang yang memiliki kebutuhan, keperluan serta orang-orang fakir, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari keperluan, kebutuhan dan hajatnya.” (HR Ahmad (IV/231), at-Tirmidzi (1332) dari ‘Amr bin Murah. At-Tirmidzi (1332) dari Abu Maryam. Hadits ini terdapat dalam Kitab Shahîh al-Jâmi’ (5685)).

Memberi Nasihat Kepada Rakyatnya dan Tidak Mengkhianatinya.
Seorang pemimpin harus selalu memberi nasihat yang baik kepada rakyatnya tentang segala perkara berkaitan dengan urusan dunia maupun agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tak seorang pemimpinpun yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian ia tidak pernah letih dari mengayomi dan menasihati mereka, kecuali pemimpin itu akan masuk ke dalam surga bersama mereka” (HR Muslim).

Pemimpin Jangan Menerima Hadiah. Jika ada rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin, hampir bisa dipastikan, dibalik itu mereka ingin agar sang pemimpin dekat dengannya dan menyukai dirinya. Maka seorang pemimpin janganlah menerima hadiah-hadiah semacam ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Hadiah yang diberikan kepada seorang pemimpin adalah pengkhianatan” (HR ath-Thabraani dalam kitab al-Kabir (XI/11486))

 Jujur Menjalankan Semua Urusan. Dalam hal ini, seorang pemimpin harus dengan sekuat tenaga untuk menjaga kehormatan, agama, harta kaum muslimin dan lain-lain. Ia juga harus mengevaluasi kinerja para pejabat dan pegawainya secara kontinyu, memperhatikan cara mereka menjalankan tugas, dan sikap mereka terhadap rakyat. Ia juga harus memilih jalan terbaik dalam menyelesaikan semua problem masyarakat. Para bawahan juga diharuskan memberi laporan-laporan secara jujur dan rinci mengenai tugas yang telah dilakukan. Sesungguhnya ia akan mempertangungjawabkan semua tugas dan kewajibannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Inilah beberapa kriteria yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang memegang tanggung jawab publik. Baik dari pimpinan tingkat terbawah hingga yang tertinggi, baik di instansi pemerintah ataupun yang swasta, terkhusus bagi mereka yang akan duduk dan sedang duduk di parlemen. Karena masalah kepemimpinan bukanlah suatu yang ringan di dalam Islam. (Diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar