>>> Belajar dari Duo Kepemimpinan Umar
Suatu ketika Utbah bin Farqad,
Gubernur Azerbaijan di masa pemerintahan Umar bin Khaththab disuguhi makanan
oleh rakyatnya. Sang gubernur menerima makanan itu, makanan bernama habish yang
terbuat dari minyak samin dan kurma. Saat mencicipinya, sang Gubernur
menyunggingkan senyum seraya berkata “Subhanallah!, betapa enak makanan ini,
tentulah kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin
Khaththab di Madinah, dia akan senang,” Kemudian, dikirimlah makanan
itu ke khalifah Umar. Setelah sampai, Umar menananyakan nama makanan ini dan
memastikan apakah makanan ini telah bisa dinikmati semua rakyat Azerbaijan.
Saat utusan Gubernur berkata bahwa tidak semua rakyat Azerbaijan bisa
memakannya, wajah khalifah Umar memerah seraya memerintahkan kedua utusan itu
kembali ke negerinya, dan dia menulis ,”…Makanan semanis dan selezat ini
bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan
ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu” .
Lain lagi cerita dari seorang Umar
Bin Abdul Aziz, khalifah dari Bani Ummayah. Ketika beliau sedang berada di
dalam ruang kerja dan datanglah anaknya untuk bicara dengannya. Umar lalu
bertanya, pembicaraan tersebut untuk kepentingan negara atau keluarga. Si anak
menjawab untuk keperluan keluarga. Lalu, Umar mematikan lampu yang menerangi
ruangan tersebut karena minyak untuk menerangi ruangan itu dibiayai negara.
Umar tidak mau pembicaraan untuk urusan keluarga diterangi oleh lampu yang
dibiayai oleh negara. Subhanallah, sungguh sosok seorang pemimpin yang luar
biasa.
Lantas, pelajaran apa yang bisa kita
ambil dari cerita dua Umar di atas? Jawabannya satu, amanah dengan kepemimpinannya.
Menjalankan kepemimpinan sebaik mungkin dengan penuh tanggung jawab karena
Allah SWT.
Krisis
multidimensi yang masih menggelayuti bangsa Indonesia seakan mustahil untuk
dicari jalan keluarnya dalam waktu dekat. Pragmatisme politik, gejala
disintegrasi, korupsi, kemiskinan, praktek kekerasan dan bencana alam merupakan
masalah besar seluruh komponen bangsa. Reformasi yang bergulir sejak 1998
dengan semangat anti KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) belum menghasilkan
pemimpin besar yang berjiwa besar untuk menyembuhkan penyakit kronis yang
mendera bangsa ini.
Jika
bangsa ini ingin segera keluar dari berbagai krisis, maka dibutuhkan
keteladanan para pemimpinnya. Keteladanan dimulai dari pemimpin tingkat
keluarga, RT, RW, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat. Lemahnya
kepemimpinan dari tingkat yang paling bawah hingga tingkat yang paling atas
menjadi penghambat tumbuhnya kepribadian bangsa yang beradab.
Pemimpin
harus berani berkata jujur walaupun sangat pahit. Jika pemimpin mau jujur maka
rakyat pasti mau mengerti dengan keadaan pemimpinnya.
Adakah hal itu kita temukan di
bangsa kita saat ini? Terutama di kalangan pejabat publik yang hari ini
berbicara menjadi pemimpin dan mewakili kita? Tidak adalah jawaban yang tepat
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Atau kita bisa menjawab ya, masih ada orang
yang ingin menjadi seperti dua Umar di atas, tapi sedikit, bagai mencari jarum
di dalam tumpukan jerami.
Pemimpin
seperti dua Umar itu memiliki criteria yang amat memadai menjadi seorang
pemimpin. Kriteria itu selayaknya ada pada orang-orang yang dengan
terang-terangan ingin menjadi pemimpin. Di antara kriteria pemimpin yang baik
adalah:
Niat Ikhlas. Seorang pemimpin
dalam memegang jabatannya itu harus diniatkan semata-mata hanya untuk
menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh yang
dijanjikan Allah kepadanya, jika melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan
baik. Karena setiap amal tergantung niat pelakunya, dan keberhasilan seorang
pemimpin tergantung kepada niatnya dalam memegang kepemimpinan itu; apakah
untuk memperkaya diri atau semata-mata lillahi Ta’ala.
Tidak Meminta
Jabatan. Secara
syar’i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu.
Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk
mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam pemerintahan, kemungkinan
besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu. Dia pun
rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan
atau untuk mempertahankan kedudukan yang telah ia raih.
Berhukum
dengan Hukum Allah. Ini merupakan kewajiban terbesar yang
harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin dan penguasa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah”. (QS. Al-Mâ`idah:49].
Menjatuhkan
Hukum Secara Adil Diantara Manusia. Ini juga termasuk
kewajiban terbesar yang harus diemban oleh seorang penguasa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Hai Dawud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (QS. Shâd: 26).
Siap
Memenuhi Kebutuhan Rakyat dan Mendengar Keluhannya. Seorang
pemimpin harus membuka pintunya untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat,
mendengarkan pengaduan orang-orang yang teraniaya dan keluhan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seorang pemimpin atau seorang
penguasa menutup pintunya dari orang-orang yang memiliki kebutuhan, keperluan
serta orang-orang fakir, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari
keperluan, kebutuhan dan hajatnya.” (HR Ahmad (IV/231), at-Tirmidzi (1332) dari
‘Amr bin Murah. At-Tirmidzi (1332) dari Abu Maryam. Hadits ini terdapat dalam
Kitab Shahîh al-Jâmi’ (5685)).
Memberi
Nasihat Kepada Rakyatnya dan Tidak Mengkhianatinya.
Seorang pemimpin harus selalu memberi nasihat yang
baik kepada rakyatnya tentang segala perkara berkaitan dengan urusan dunia
maupun agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tak seorang pemimpinpun yang mengurusi urusan
kaum muslimin, kemudian ia tidak pernah letih dari mengayomi dan menasihati
mereka, kecuali pemimpin itu akan masuk ke dalam surga bersama mereka” (HR
Muslim).
Pemimpin
Jangan Menerima Hadiah. Jika ada rakyat yang memberikan
hadiah kepada seorang pemimpin, hampir bisa dipastikan, dibalik itu mereka
ingin agar sang pemimpin dekat dengannya dan menyukai dirinya. Maka seorang
pemimpin janganlah menerima hadiah-hadiah semacam ini. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hadiah yang diberikan
kepada seorang pemimpin adalah pengkhianatan” (HR ath-Thabraani dalam kitab
al-Kabir (XI/11486))
Jujur Menjalankan Semua Urusan. Dalam
hal ini, seorang pemimpin harus dengan sekuat tenaga untuk menjaga kehormatan,
agama, harta kaum muslimin dan lain-lain. Ia juga harus mengevaluasi kinerja
para pejabat dan pegawainya secara kontinyu, memperhatikan cara mereka
menjalankan tugas, dan sikap mereka terhadap rakyat. Ia juga harus memilih
jalan terbaik dalam menyelesaikan semua problem masyarakat. Para bawahan juga
diharuskan memberi laporan-laporan secara jujur dan rinci mengenai tugas yang
telah dilakukan. Sesungguhnya ia akan mempertangungjawabkan semua tugas dan
kewajibannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah beberapa kriteria yang harus diperhatikan
oleh orang-orang yang memegang tanggung jawab publik. Baik dari pimpinan
tingkat terbawah hingga yang tertinggi, baik di instansi pemerintah ataupun
yang swasta, terkhusus bagi mereka yang akan duduk dan sedang duduk di
parlemen. Karena masalah kepemimpinan bukanlah suatu yang ringan di dalam
Islam. (Diolah dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar