Jumat, 31 Oktober 2014

Tetaplah Tinggal di Rumah yang Jauh dari Masjid!

# Fadilah ‘Amal

PEMBACA buletin dakwah AS SHIDIQ  yang dimuliakan Allah, mendapatkan rezeki tempat tinggal yang dekat dengan masjid, tempat umat Muslim beribadah kepada Allah SWT, adalah keberuntungan yang nilainya sangat besar. Mengapa? Karena tentu saja mereka yang memiliki rumah di dekat “Rumah Allah” akan dengan mudahnya bisa sampai di masjid. Mereka juga bisa bekesempatan untuk setaip saat mengikuti salat berjamaah. Dengan demikian kesempatan mejadi ahli masjid pun semakin besar.

Tetapi ternyata menjadi ahli masjid itu tidak mudah meskipun kita tinggal di dekat masjid. Buktinya masjid seringkali sepi jamaah di waktu salat fardu. Kegiatan-kegiatan keagamaan, semisal acara dzikir dan kajian agama, juga sepi jamaah. Padahal salatnya orang yang berjamaah pahalanya/derajatnya jauh lebih besar dibandingkan salat sendirian. Sabda Rasullah SAW, “Salat berjamaah 27 derajat lebih utama daripada salat sendirian.” (HR Malik, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).

Dalam hadis lain disebutkan, sesungguhnya bagi setiap masjid itu ada orang-orang yang selalu berkumpul di dalamnya (sebagai ahli-ahli masjid), dan para malaikat menjadi sahabat mereka. Jika mereka tidak hadir, para malaikat akan mencarinya; jika mereka sakit, para malaikat akan menengoknya; dan jika mereka mempunyai keperluan, para malaikat akan membantunya (HR Ahmad).

Karena fadilah yang begitu besar, suatu ketika Banu Salamah, salah satu kabilah di Madinah al Munawaroh yang rumahnya jauh dari masjid Nabawi, berniat hendak pindah ke dekat masjid. Namun Rasullah Muhammad SAW melarangnya dengan mengatakan, “Tetaplah kalian tinggal di sana, karena setiap langkah kalian akan dicatat sebagai pahala.”

Rasul juga mengatakan,” Apabila sesorang berwudhu dengan sempurna lalu keluar dari rumahnya dengan niat untuk salat berjamaah, maka seolah-olah ia telah keluar dari rumahnya dengan niat ihram untuk haji.”

Nah loh, sungguh besar keutamaan-keutamaan mendatangi masjid untuk berniat melaksanakan salat berjamaah. Mereka yang tinggal di dekat majid memiliki kesempatan yang luas untuk mendatangi masjid, tapi mereka yang jauh dari masjid memiliki kesempatan mendapatkan pahala yang lebih luas karena setiap langkahnya dihitung sebagai pahala. Semoga kita diberikan kesempatan dan kemudahan untuk mendatangi masjid, melaksanakan salat berjamaah, dan digolongkan menjadi ahli masjid. Amin. (Disadur dari Himpunan Kitab Fadhilah Amal)

*) Materi Buletin Dakwah As Shidiq Edisi I, 7 Muharam 1436 H

Menghijrahkan Diri Menuju Ketaatan

*) Memaknai Tahun Baru 1436 H

--- “ Orang muslim adalah orang yang tidak mengganggu orang muslim lain baik dengan lidah maupun tangannya, dan orang yang hijrah itu adalah orang yang hijrah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah “ (HR. Bukhari dan Muslim) ---

Sebagai umat Islam, apa yang seharusnya kita lakukan memasuki awal tahun baru Islam 1436 H? Apakah kita melewatkan begitu saja dan menjalankan aktivitas ibadah tanpa ada peningkatan sedikitpun? Atau sebalinya, memupuk semangat untuk semakin dekat dengan sang pecipta alam semesta dengan meniatkan segala amalan untuk ibadah dan mencari ridho Allah SWT?

Tahun 1435 H berlalu dan berganti memasuki 1436 H, itu artinya bahwa setiap manusia telah melewatkan satu tahun hidupnya dengan menggoreskan catatan dalam buku amalan yang isinya sangat beragam. Apakah semua amalan termasuk dalam amalan baik, atau sebaliknya tak satupun sepanjang tahun kita berbuat kebaikan. Padahal, waktu setahun yang sudah berlalu itu pada hahekatnya adalah Allah SWT telah mengurangi jatah usia kita untuk menghirup udara di dunia dan segera menuju alam kematian.

Maka, momen memasuki tahun baru 1436 H mestinya bisa kita gunakan untuk bermuhasabah dan instropeksi diri. Karena setiap muslim harus selalu melakukan muhasabah diri, disamping setiap saat, juga yang bersifat harian, pekanan, bulanan, tahunan dan seterusnya. Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ’anhu berkata: ”Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab dan timbanglah amalmu sebelum kamu ditimbang nanti dan bersiap-siaplah untuk hari menghadap yang paling besar (hari menghadap Allah)”, Firman Allah: Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)”. (QS Al-Haaqqah : 18)

Lalu, kita mengambil ibrah atau pelajaran dari semua kejadian dan peristiwa sepanjang tahun sebelumnya yang menghampiri kita. Semisal ketika Allah SWT menguji dengan rezeki yang mudah diperoleh, kekurangan, kegelisahan, atau ujian sebagian anggota keluarga kita dipangigil menghadap Allah (peristiwa kematian). Seyogyanya kita juga mengambil hikmah dari semua peristiwa yang melintas di lingkungan kita, apakah itu berupa peristiwa bencana alam, gempa bumi, gunung meletus, pesawat terbang berjatuhan, mobil bertumbukan, kereta api anjlok, kapal laut tenggelam, tsunami, dan sebagainya. Itu semua hanyalah sebagian saja di antara hak sanksi Allah SWT atas fenomena maraknya bermacam-macam kejahatan, kemaksiatan dan penyimpangan yang diperbuat tangan-tangan kotor manusia yang durhaka kepada hokum Allah SWT. Selain itu, peristiwa-peristiwa yang membuat umat manusia menangis itu adalah peringatan dari Allah agar kita sadar dan kembali kepada-Nya.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) “ (QS. Ar Rum : 41)

“Dan kalau sekiranya Allah hendak menyiksa manusia sesuai dengan perbuatan jahatnya, niscaya Dia tidak akan menyisakan di atas permukaan bumi satupun mahluk melata, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ketentuan ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya “ (QS. Faathir : 45).

Fenomena pergantian waktu siang-malam, hari, pekan, bulan, tahun, dan seterusnya, juga semestinya dimaknai sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah agar manusia banyak bertafakkur dan berdzikir mengingat muroqobah (pengawasan) Allah, dan bukan untuk merayakannya dengan cara-cara yang penuh dengan kesia-siaan, seperti yang biasa kita saksikan pada fenomena penyambutan tahun baru yang lain. Firman Allah: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”(QS. Ali Imran : 190).
Tahun baru Hijriyah mengingatkan kita pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka marilah kita benar-benar menghijrahkan diri dari segala bentuk keburukan menuju kebaikan, dari kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebid’ahan menuju kesunnahan, dari kejahiliyahan menuju totalitas Islam dan dari kegelapan memperturutkan hawa nafsu menuju cahaya terang keikhlasan dalam menggapai ridha Allah SWT.
 “ Orang muslim adalah orang yang tidak mengganggu orang muslim lain baik dengan lidah maupun tangannya, dan orang yang hijrah itu adalah orang yang hijrah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah “ (HR. Bukhari dan Muslim)

Sungguh besar jasa Rasul Muhammad yang telah menghijrahkan umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh cahaya Islam. Maka, pantas jika umat Islam menyambut dengan penuh suka cita kehadiran tahun baru 1436 H. Penyambutan tahun baru Islam adalah untuk menunjukkan rasa bangga umat Muslim atas jati diri keislamannya, dengan lebih mengutamakan penggunaan kalender Hijriyah sebagai salah satu identitas ummat pengikut Rasulullah Muhammad SAW. “ Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Islam (yang berserah diri kepada Allah)”. (QS. Ali Imran : 64).

Kita harus berhijrah menuju jalan hidup yang lebih baik. Ketika umat lain membanggakan diri dengan tahun barunya, maka sesungguhnya umat Islam telah dianugrahi tahun yang penuh dengan kemuliaan dan nilai-nilai yang tinggi, yaitu tahun Hijriah. Tahukah Anda sesungguhnya di tahun Hijriah itu ada empat bulan suci atau bulan haram? Dan pada awal tahun Islam ini diawali dengan bulan Muharram. Bulan Muharram merupakan salah satu bulan di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Empat bulan suci itu adalah Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.


Lalu mengapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, bulan-bulan tersebut dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan/peperangan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Dan kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Di bulan Muharam umat Islam disunahkan untuk melakukan ibadah saum. ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim). (Diolah dari berbagai sumber)

* Materi utama Buletin Dakwah As Shidiq Edisi I, 7 Muharam 1436 H